Filosofi Wangi



“Jika wangimu saja bisa

memindahkan duniaku.”


Beberapa hari lalu, ada mba Raisa lagi nyanyi Kali Kedua di salah satu perayaan HUT channel teve swasta lokal. Lagu ini sebenarnya sudah lama kudengar dan kunikmati. Namun, baru kali pertama ini telingaku benar-benar menangkap penggalan lirik di bait pertamanya. 

Dua kata kunci: wangi dan memindahkan

Interpretasiku terhadap kata wangi di sini adalah secara literal. Lalu, entah dari mana, kepalaku tiba-tiba memutar kilasan memori yang beberapa tahun ini kerap melintasi pikiranku dan berpikir, “Eh, tapi kalau dipikir-pikir bener juga ya. Wangi, bau, atau aroma—you name it—bisa berdampak besar, loh, bagi memori beberapa orang.” Kalau versi mas Adam Levine, sih, boleh jadi ‘Cause the drinks bring back all the memories. Tapi menurutku, bukan hanya drinks yang bisa bring back memories, tapi juga wangi.

Tanpa—atau mungkin dengan—kita sadari, selain sebagai penanda bahwa indra penciuman kita masih sehat walafiat, wangi atau aroma tertentu juga bisa dijadikan penanda akan suatu benda atau bahkan peristiwa dalam hidup kita.  It is naturally attached to a certain memory, either the distant or the vivid one. Aku pernah baca sebuah studi yang mengatakan bahwa otak manusia (normalnya) memiliki lebih dari 1000 reseptor wangi. Iya, sebanyak itu wewangian yang bisa kita tangkap. Ya, meskipun bakal susah, sih, kalau mau menamai satu per satu. Kita bukan Jati Wesi, sis (how I wish I had his power, lol). Wangi yang ditangkap oleh reseptor-reseptor ini langsung mengarah bagian otak yang bertugas menyimpan dan memproses emosi dan memori (hippocampus dan amigdala). Oleh karena itu, otak manusia akan lebih dapat mengingat memori secara vivid saat mencium wangi yang sama.

Fakta ini cukup menarik buatku yang selama ini berpikir bahwa manusia lebih cenderung merupakan makhluk visual daripada makhluk wewangian.

Banyak sekali wangi yang bisa memicu memori-memori di kepalaku—dari yang penting sampai yang random abis. Misalnya, wangi lumpia rebung selalu mengingatkanku saat naik motor di jalanan Jember (aneh ya?). Lalu, wangi tanah basah saat hujan juga seringkali mengingatkanku saat harus jalan menerjang banjir di Ambarawa sehabis pulang event English Month 15. Dan masih banyak lagi wewangian lainnya yang bisa dan kok bisa-bisanya bikin aku ingat memori yang menurutku bahkan tidak begitu berkesan. Untung saja wangi tumis kangkung ga mengingatkanku akan satu hal spefisik, sih… (hashtag yang tau-tau aja).

Kalau aku punya satu versi wangi yang sampai saat ini hampir tidak pernah gagal memindahkan duniaku: wangi parfum my highschool crush.

…jijik ya? Kalau dipikir-pikir, sih, memang njijiki. Tapi itulah memori tentang wangi paling vivid yang bisa otakku ingat sampai saat ini. As cheesy as it sounds, kayaknya wangi yang satu ini bakalan susah ilang dari memoriku: saat aku pinjam hoodie tanpa lengan warna navy blue miliknya di lantai dua sepulang sekolah. Iya, se-spesifik itu. Sialnya, wangi serupa seringkali kutemui di mana-mana (parfumnya pasaran, sis). Don’t get me wrong, tentu aku sudah move on. Tapi aku bisa apa kalau otakku memilih untuk memutar memori yang itu-itu saja? Huft.

Pernah waktu itu aku randomly nemu wangi parfum yang mirip saat iseng membaui deretan parfum refill di kasir supermarket dekat rumah (nama parfumnya Kenzo Batang, weirdass name I know). Spontan aku impulsif mau beli. Tapi akhirnya I’m giving it up karena sampai kapan mau dibayangi wangi yang sama setelah bertahun-tahun, woi? Apalagi ibuk ga suka baunya hahaha. Meskipun pas pulang masih nyempetin membaui tangan bekas olesan Kenzo Batang dan berakhir senyum-senyum sendiri, sih. Hehe.


Lucu juga ya, betapa satu wangi menjadi se-personal itu bagiku. Bagi sebagian orang, bisa jadi wangi-wangi tertentu juga dapat membawa pulang memori-memori manis, atau bahkan traumatis. Yang aku tau pasti, setiap orang tentu punya versi wangi yang bisa memindahkan dunianya sendiri-sendiri.


Jadi, apa satu wangi yang bisa memindahkan dunia versi kalian?



Comments